HARAPAN SEDERHANA
“Daun yang jatuh
tidak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak
melawan, mengikhlaskan semuanya. Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang
indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus
memahami, pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian,
pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan
menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin
merengkuhnya, membawa pergi entah kemana.” (Tere Liye, Daun yang jatuh tak
pernah membenci angin, 2010)
Berjalan ditepi
jalan, merasakan apa yang ingin ku rasakan. Mencoba mengerti beberapa hal baru,
suasana baru dan keadaan baru. Seorang perempuan yang memang berasal bukan dari
keluarga yang kaya harta, bukan juga kalangan petinggi atas. Aku berasal dari
keluarga sederhana yang mempunyai cita-cita yang besar untuk hidupku, keluarga,
dan untuk orang lain. Seorang gadis yang melihat banyak sekali keadaan yang
terkadang membuatnya iri hati, namun sesaat perempuan manis itu tersadar bahwa niatnya
belajar bukan untuk mengirikan apa yang orang lain punya. Namun, gadis ini
bukanlah orang yang mudah berputus asa. Ika harus bisa bangkit dan tetap
semangat dalam hati selalu berkata “biarlah mereka membanggakan apa yang mereka
miliki saat ini karena mereka memang punya Putri tidak boleh iri pada
kebahagiaan orang lain, aku yakin allah kelak pasti kan memberikan kebahagian
juga kepadaku hanya saja bukan sekarang”.
Dia teringat
percakapan dengan salah satu seorang temannya yang bernama Lala ketika masih di
sekolah menengah kejuruan. Kita sedang duduk berdua sehabis shalat duha, kami memang
sering shalat duha bersama yang lainnya juga. Hanya saja saat itu aku dan Lala
selesai duluan ketika yang lain belum selesai karena kita berdua sampai di masjid
terlebih dahulu. Kita berdua saling bercerita dan berbagi pendapat. Bercerita
tentang bagaimana kita kedepannya? Apa yang akan kita temukan disuasana dan
keadaan yang berbeda nanti? Di tempat yang berbeda nanti? Pasti akan ada waktu
dimana kita merindukan suasana kelas, keadaan saat ini dan segala keindahan
maupun kepahitan selama 3 tahun kita berteman bersama dalam satu kelas. Tak
berasa memang kita sudah harus pisah dan memilih jalan kita masing-masing.
Sungguh mengharukan. Lala bercerita tentang apa yang dia rasakan, apa yang dia
inginkan, dan apa yang dia impikan. Begitupun sebaliknya dengan ku. Kami
hanya mampu saling mengamini agar kelak
semua itu menjadi nyata bukan fana.
Hingga pada
akhirnya hari dimana aku dan teman-teman yang lainnya menunggu pengumuman
tentang hasil kelulusan kami. Dan hasilnya alhamdulillah kami lulus 100% meski
beberapa sekolah dibekasi yang diisukan ada 4 siswa yang tidak lulus kabar itu
membuat kami terus berdoa dan memohon agar kami bisa lulus semua dan
alhamdulillah hasilnya lulus semua.
Aku bertemu Lala
di sekolah selesai melihat pengumuman, ya meskipun pengumuman bisa diakses
melalui internet atau dapat dilihat dikoran tapi belum lega rasanya kalau belum
lihat sendiri di sekolah. Keadaan di sekolah tidaklah berubah semua sama masih
sama. Pada saat itu Lala sudah tahu bahwa aku gagal masuk di Poltekkes Negeri 3
Jakarta dan ketika kita sedang membicarakan tetang bagaimana kita kedepannya
tiba-tiba Lala teringat sesuatu memberitahuku tentang sebuah informasi bahwa di
Universitas Negeri Padjadjaran Bandung sedang ada program D3 ya meskipun itu
pun melalui jalur rapot atau sering disebut dengan SMUP. Pesimis memang diawal,
karena ku rasa nilaiku tak mungkin mampu untuk bersaing dengan yang lain.
Namun, aku tetap mencoba optimis dan mencoba.
Dan keesokkan
harinya aku minta diajarkan cara melalukan registrasi pendaftaran oleh Lala
yang sudah melalukan registrasi terlebih dahulu. Setelah beberapa minggu pendaftaran
akhirnya pengumuman keluar, namun ternyata hanya satu teman ku yang lulus, aku
dan Lala tidak. Akhirnya aku dan Lala pun memilih jalan masing-masing. Namun aku
sudah bingung dan memutuskan untuk memilih salah satu perguruan tinggi swasta
dibekasi tujuannya agar tidak jauh dan tidak perlu membebani kedua orang tua
dengan biaya kost. Namun, nasib dan peruntungan Lala mungkin sedang bagus dia
diterima diperguruan tinggi negeri yang berada dibawah perindustrian itu pun
tanpa sepengetahuanku. Entah, dia sengaja atau tidak. Ya mungkin ini yang
dinamakan rezeki dan belum rezeki.
Tanpa disengaja
aku bertemu dengan sahabatku namanya Diah, kami duduk dan bersantai sambil
bercerita-cerita dan ketika dia tahu dia berusaha menenangkan hatiku dan menasihatiku
agar aku tidak terlalu lama larut dalam kesedihan dan kebimbangan.
“Kenapa kamu?”
Tanya Diah padaku
“Tidak ada
apa-apa ko di:(“
“Kamu yakin?”
Diah bertanya lagi karena masih penasaran
“Entahlah, di aku bingung karena tidak bisa
mengabulkan keinginan ayah ku yang selalu mengharapkanku menjadi seorang bidan.
Sedangkan kamu pun tahu kan kalau biaya kebidanan diswasta sangatlah mencekik
bagi keluargaku yang bukan berasal dari kalangan orang berada.” aku menjawabnya
“Apa yang kamu pilih saat ini tidaklah
salah. Saya yakin kedua orang tua mu
pasti akan memahami terutama ayahmu, pasti cepat atau lambat dia akan paham
dengan keadaan yang ada saat ini. Tugas
mu sekarang tekuni apa yang sudah kamu pilih, belajar dengan sungguh-sungguh
bahagiakan mereka dengan nilai-nilai terbaikmu. Mereka sudah berjuang banting
tulang demi membayar kuliahmu saat ini, jangan kamu kecewakan mereka tapi
bahagiakanlah mereka meski bukan menjadi apa yang ayahmu inginkan. Bahagiakan mereka,
mereka yang selalu ada kapanpun kamu butuh tanpa mengeluh, mereka yang selalu
memberikan apa yang kamu mau sejak kecil, menggendongmu disaat lelahnya, mereka
yang terbangun dimalam hari ketika kamu menangis sewaktu kecil, mereka yang
rela kelaparan demi kamu anaknya agar tetap bisa makan, mereka yang menaruh
harapan besar dibahumu untuk menggantikan ketika mereka tua nanti, ketika
mereka lemah dan tak berdaya lagi. Bahagiakan mereka dengan jurusanmu saat ini.
Yakinlah bawa kamu bisa, kamu mampu. Lupakan egomu jangan hanya karena tidak
diterima di negeri kamu putus asa dan putus semangat. Ingat orang tua mu. Ingat
diluar sana juga banyak anak-anak lain yang ingin bisa meneruskan ke pendidikan
perguruan tinggi. Jangan sampai kamu menyia-nyiakan hal ini, karena kelak kamu
pasti akan menyesal kalau kamu menyia-nyiakan semua yang ada saat ini. Karena
belum tentu semua orang mampu.” Ucap Diah
“(Hanya bisa terdiam dan mendengarkan apa yang
dia bilang, hatiku terasa teriris mendengarnya, jahatnya alangkah jahatnya aku
jika mengecewakan mereka ketika ku mematahkan harapan mereka ketika ku menyerah
hanya untuk hal kecil. Padahal mereka? aku hanya bisa terdiam terbayang begitu
banyak dosa yang selama ini telah aku
lakukan kepada mereka, melawan, membatantah, berbohong, menyakiti hati mereka
ya Allah maafkan ku)” Dalam hatiku.
“Yasudah. Tidak usah kamu menangis karena
itu pun tidak akan merubah segalanya, yang harus kamu lakukan saat ini
bagaimana kamu harus bisa membahagiakan mereka agar mereka tidak kecewa pada
hasil akhirnya nanti.” Nasehat Diah
“Baiklah akan ku
coba selalu ku tanamkan dihati, jiwa dan pikiranku. AKU HARUS BISA!”
“Yasudah kalau
begitugausah sedih-sedihan mulu ah yuk kita kerumah mu!” Ajak Diah
“Terima kasih atas nasehat dan motivasinya
ya diah. Ini adalah tamparan keras bagiku untuk menjadi seseorang yang lebih
baik lagi.”
“Iya sama-sama” Dan kami berpelukkan. Hehe J
Pada saat sedang
diperjalanan menuju rumahku aku pun masih termenung terbayang akan kata-kata
Diah tentang orang tua ku “Bahagiakan mereka, mereka yang selalu ada kapan pun
kamu butuh tanpa mengeluh, mereka yang selalu memberikan apa yang kamu mau
sejak kecil, menggendongmu disaat lelahnya, mereka yang terbangun dimalam hari
ketika kamu menangis sewaktu kecil, mereka yang rela kelaparan demi kamu
anaknya agar tetap bisa makan, mereka yang menaruh harapan besar dibahumu untuk
menggantikan ketika mereka tua nanti, ketika mereka lemah dan tak berdaya lagi.
Bahagiakan mereka dengan jurusanmu saat ini. Yakinlah bawa kamu bisa, kamu
mampu. Lupakan egomu jangan hanya karena tidak diterima di negeri kamu putus
asa dan putus semangat. Ingat orangtua mu.”
Aku tersadar
bahwa menjadi sukses itu bukan hanya karena jurusan apa atau dimana kita
belajar tapi bagaimana semangat kita untuk selalu bisa. Keadaan ini
mengajarkanku menjadi berfikir dewasa dan mencoba memahami bahwa sesungguhnya
yang ke dua orang tua ku inginkan pasti untuk kebaikanku juga. Hanya saja
keadaannya sedang tidak bersahabat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar