Kamis, 27 November 2014

Cerita Pendekku-Harapan Sederhana

HARAPAN SEDERHANA 
“Daun yang jatuh tidak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan, mengikhlaskan semuanya. Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana.” (Tere Liye, Daun yang jatuh tak pernah membenci angin, 2010)
Berjalan ditepi jalan, merasakan apa yang ingin ku rasakan. Mencoba mengerti beberapa hal baru, suasana baru dan keadaan baru. Seorang perempuan yang memang berasal bukan dari keluarga yang kaya harta, bukan juga kalangan petinggi atas. Aku berasal dari keluarga sederhana yang mempunyai cita-cita yang besar untuk hidupku, keluarga, dan untuk orang lain. Seorang gadis yang melihat banyak sekali keadaan yang terkadang membuatnya iri hati, namun sesaat perempuan manis itu tersadar bahwa niatnya belajar bukan untuk mengirikan apa yang orang lain punya. Namun, gadis ini bukanlah orang yang mudah berputus asa. Ika harus bisa bangkit dan tetap semangat dalam hati selalu berkata “biarlah mereka membanggakan apa yang mereka miliki saat ini karena mereka memang punya Putri tidak boleh iri pada kebahagiaan orang lain, aku yakin allah kelak pasti kan memberikan kebahagian juga kepadaku hanya saja bukan sekarang”.
Dia teringat percakapan dengan salah satu seorang temannya yang bernama Lala ketika masih di sekolah menengah kejuruan. Kita sedang duduk berdua sehabis shalat duha, kami memang sering shalat duha bersama yang lainnya juga. Hanya saja saat itu aku dan Lala selesai duluan ketika yang lain belum selesai karena kita berdua sampai di masjid terlebih dahulu. Kita berdua saling bercerita dan berbagi pendapat. Bercerita tentang bagaimana kita kedepannya? Apa yang akan kita temukan disuasana dan keadaan yang berbeda nanti? Di tempat yang berbeda nanti? Pasti akan ada waktu dimana kita merindukan suasana kelas, keadaan saat ini dan segala keindahan maupun kepahitan selama 3 tahun kita berteman bersama dalam satu kelas. Tak berasa memang kita sudah harus pisah dan memilih jalan kita masing-masing. Sungguh mengharukan. Lala bercerita tentang apa yang dia rasakan, apa yang dia inginkan, dan apa yang dia impikan. Begitupun sebaliknya dengan ku. Kami hanya  mampu saling mengamini agar kelak semua itu menjadi nyata bukan fana.
Hingga pada akhirnya hari dimana aku dan teman-teman yang lainnya menunggu pengumuman tentang hasil kelulusan kami. Dan hasilnya alhamdulillah kami lulus 100% meski beberapa sekolah dibekasi yang diisukan ada 4 siswa yang tidak lulus kabar itu membuat kami terus berdoa dan memohon agar kami bisa lulus semua dan alhamdulillah hasilnya lulus semua.
Aku bertemu Lala di sekolah selesai melihat pengumuman, ya meskipun pengumuman bisa diakses melalui internet atau dapat dilihat dikoran tapi belum lega rasanya kalau belum lihat sendiri di sekolah. Keadaan di sekolah tidaklah berubah semua sama masih sama. Pada saat itu Lala sudah tahu bahwa aku gagal masuk di Poltekkes Negeri 3 Jakarta dan ketika kita sedang membicarakan tetang bagaimana kita kedepannya tiba-tiba Lala teringat sesuatu memberitahuku tentang sebuah informasi bahwa di Universitas Negeri Padjadjaran Bandung sedang ada program D3 ya meskipun itu pun melalui jalur rapot atau sering disebut dengan SMUP. Pesimis memang diawal, karena ku rasa nilaiku tak mungkin mampu untuk bersaing dengan yang lain. Namun, aku tetap mencoba optimis dan mencoba.
Dan keesokkan harinya aku minta diajarkan cara melalukan registrasi pendaftaran oleh Lala yang sudah melalukan registrasi terlebih dahulu. Setelah beberapa minggu pendaftaran akhirnya pengumuman keluar, namun ternyata hanya satu teman ku yang lulus, aku dan Lala tidak. Akhirnya aku dan Lala pun memilih jalan masing-masing. Namun aku sudah bingung dan memutuskan untuk memilih salah satu perguruan tinggi swasta dibekasi tujuannya agar tidak jauh dan tidak perlu membebani kedua orang tua dengan biaya kost. Namun, nasib dan peruntungan Lala mungkin sedang bagus dia diterima diperguruan tinggi negeri yang berada dibawah perindustrian itu pun tanpa sepengetahuanku. Entah, dia sengaja atau tidak. Ya mungkin ini yang dinamakan rezeki dan belum rezeki.
Tanpa disengaja aku bertemu dengan sahabatku namanya Diah, kami duduk dan bersantai sambil bercerita-cerita dan ketika dia tahu dia berusaha menenangkan hatiku dan menasihatiku agar aku tidak terlalu lama larut dalam kesedihan dan kebimbangan.
“Kenapa kamu?” Tanya Diah padaku
“Tidak ada apa-apa ko di:(“
“Kamu yakin?” Diah bertanya lagi karena masih penasaran
“Entahlah, di aku bingung karena tidak bisa mengabulkan keinginan ayah ku yang selalu mengharapkanku menjadi seorang bidan. Sedangkan kamu pun tahu kan kalau biaya kebidanan diswasta sangatlah mencekik bagi keluargaku yang bukan berasal dari kalangan orang berada.” aku menjawabnya
“Apa yang kamu pilih saat ini tidaklah salah. Saya yakin kedua  orang tua mu pasti akan memahami terutama ayahmu, pasti cepat atau lambat dia akan paham dengan keadaan  yang ada saat ini. Tugas mu sekarang tekuni apa yang sudah kamu pilih, belajar dengan sungguh-sungguh bahagiakan mereka dengan nilai-nilai terbaikmu. Mereka sudah berjuang banting tulang demi membayar kuliahmu saat ini, jangan kamu kecewakan mereka tapi bahagiakanlah mereka meski bukan menjadi apa yang ayahmu inginkan. Bahagiakan mereka, mereka yang selalu ada kapanpun kamu butuh tanpa mengeluh, mereka yang selalu memberikan apa yang kamu mau sejak kecil, menggendongmu disaat lelahnya, mereka yang terbangun dimalam hari ketika kamu menangis sewaktu kecil, mereka yang rela kelaparan demi kamu anaknya agar tetap bisa makan, mereka yang menaruh harapan besar dibahumu untuk menggantikan ketika mereka tua nanti, ketika mereka lemah dan tak berdaya lagi. Bahagiakan mereka dengan jurusanmu saat ini. Yakinlah bawa kamu bisa, kamu mampu. Lupakan egomu jangan hanya karena tidak diterima di negeri kamu putus asa dan putus semangat. Ingat orang tua mu. Ingat diluar sana juga banyak anak-anak lain yang ingin bisa meneruskan ke pendidikan perguruan tinggi. Jangan sampai kamu menyia-nyiakan hal ini, karena kelak kamu pasti akan menyesal kalau kamu menyia-nyiakan semua yang ada saat ini. Karena belum tentu semua orang mampu.” Ucap Diah
               “(Hanya bisa terdiam dan mendengarkan apa yang dia bilang, hatiku terasa teriris mendengarnya, jahatnya alangkah jahatnya aku jika mengecewakan mereka ketika ku mematahkan harapan mereka ketika ku menyerah hanya untuk hal kecil. Padahal mereka? aku hanya bisa terdiam terbayang begitu banyak dosa yang selama ini  telah aku lakukan kepada mereka, melawan, membatantah, berbohong, menyakiti hati mereka ya Allah maafkan ku)” Dalam hatiku.
     “Yasudah. Tidak usah kamu menangis karena itu pun tidak akan merubah segalanya, yang harus kamu lakukan saat ini bagaimana kamu harus bisa membahagiakan mereka agar mereka tidak kecewa pada hasil akhirnya nanti.” Nasehat Diah
“Baiklah akan ku coba selalu ku tanamkan dihati, jiwa dan pikiranku. AKU HARUS BISA!”
“Yasudah kalau begitugausah sedih-sedihan mulu ah yuk kita kerumah mu!” Ajak Diah
     “Terima kasih atas nasehat dan motivasinya ya diah. Ini adalah tamparan keras bagiku untuk menjadi seseorang yang lebih baik lagi.”
 “Iya sama-sama” Dan kami berpelukkan. Hehe J

Pada saat sedang diperjalanan menuju rumahku aku pun masih termenung terbayang akan kata-kata Diah tentang orang tua ku “Bahagiakan mereka, mereka yang selalu ada kapan pun kamu butuh tanpa mengeluh, mereka yang selalu memberikan apa yang kamu mau sejak kecil, menggendongmu disaat lelahnya, mereka yang terbangun dimalam hari ketika kamu menangis sewaktu kecil, mereka yang rela kelaparan demi kamu anaknya agar tetap bisa makan, mereka yang menaruh harapan besar dibahumu untuk menggantikan ketika mereka tua nanti, ketika mereka lemah dan tak berdaya lagi. Bahagiakan mereka dengan jurusanmu saat ini. Yakinlah bawa kamu bisa, kamu mampu. Lupakan egomu jangan hanya karena tidak diterima di negeri kamu putus asa dan putus semangat. Ingat orangtua mu.”

Aku tersadar bahwa menjadi sukses itu bukan hanya karena jurusan apa atau dimana kita belajar tapi bagaimana semangat kita untuk selalu bisa. Keadaan ini mengajarkanku menjadi berfikir dewasa dan mencoba memahami bahwa sesungguhnya yang ke dua orang tua ku inginkan pasti untuk kebaikanku juga. Hanya saja keadaannya sedang tidak bersahabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar